Bahkan, jika aku tak mampu berucap, apa hatimu mampu membaca gelagatku?

Senin, 07 Juli 2014

Maaf, Semoga Kau tahu Jalan Pulang

08.49 Posted by Unknown No comments

Karena cinta selalu tahu, kapan dan kemana ia harus pulang.

***

Nyatanya tak perlu menjadi seorang yang paling pintar untuk menyadari bahwa kau dan aku tak lagi sejalan. Nyatanya, memang tak perlu menjadi sempurna hanya untuk merelakan bahwa kamu telah pergi; merantau, ke lain hati.
Kepada semesta, hati ini berdusta. Berbicara sekenanya, semaunya. Karena lagi-lagi, nyatanya engkau selalu memenangkan setiap perdebatan dalam jiwaku; namamu. Harusnya, ku ucap jujur saja, bahwa hatiku -masih selalu- mengingat namamu. Namun lagi, egoku selalu menang untuk menyembunyikannya.

Entah, bagaimana bisa, kita, begini? Sudahkah? Sudahkah segalanya? Lalu bagaimana nanti, jika aku sendiri disini? Lalu bagaimana nanti, jika kini kamu sendiri yang pergi? Mengapa? Mengapa segalanya terasa begitu cepat?

Bukan masalah merelakan, karena nyatanya aku tak rela, melihat engkau yang kini menggenggam tangannya. Bukan lagi tanganku, bukan lagi cintaku, bukan lagi... aku. Lalu, aku bisa apa?

Apa semesta mendengar do‘aku? Apa semesta mendengar pintaku? Apa.... Apa semesta mendengar setiap kali ku memanggil namamu, duhai? Apa semesta menyampaikan itu padamu? Apa semesta memberitahumu tiap kali aku merindu? Atau.... Atau semesta menyembunyikan segalanya dan engkau tak pernah bahkan tak akan pernah tahu?

Sedetik lalu, lagi-lagi aku mengingatmu. Ya, lagi-lagi kamu. Dan selalu kamu, apa kamu tahu? Sehari lalu, aku merindumu. Selalu begitu. Seminggu yang lalu, bahagia itu berlalu, dan aku tak mampu. Harusnya aku mengerti, mengerti bahwa hari ini akan tiba, dan engkau memilihnya. Bukan, bukan aku, tapi dia. Apa aku tak cukup mampu membuat mu bahagia? Apa hanya dia? Apa hanya dia yang mampu? Hingga aku berlalu begitu saja, seperti angin.

Semesta mendengarku, mendengar sakitku, mendengar perihku. Hujan.

Hai kamu, mungkin sudah selayaknya, dan sudah seharusnya aku belajar; merelakan. Karena nyatanya engkau begitu, dan terlalu mencintanya. Seperti aku, begitu dan terlalu; mencintaimu. Pergilah, dengan segenggam harapan yang kau sebut kebahagiaan. Dan aku disini diam, dengan segenggam yang ku sebut kepahitan.

Boleh aku sedikit mengingatkan? Kau boleh pergi, dan nyatanya kau telah pergi. Dan cinta, kau akan selalu tahu jalan pulang. Bukan begitu? Semoga.

Maaf, maaf jika aku masih selalu mengharapkan. Maaf jika aku masih selalu menantikan. Maaf jika aku masih saja mencinta. Karena pemenang selalu satu, bukan? Dan itu, kamu, wahai.

0 komentar:

Posting Komentar