Bahkan, jika aku tak mampu berucap, apa hatimu mampu membaca gelagatku?

Kamis, 31 Juli 2014

Terimakasih, untuk Kamu.

15.01 Posted by Unknown No comments

Karena sabar itu tak ada batasnya..

Maka, jika sabar tak ada batas, akankah kebahagaiaan itu dapat terlaksana?
Jika kita terus bersabar, apakah.... Apakah hanya aku yang bisa bersabar sedangkan dia tidak?
Apakah memperjuangkan orang yang tidak seharusnya di perjuangkan itu indah?
Jika semua dilakukan, bagaimana jika aku lelah dan sudah mencapai titik jenuhku? Apa aku boleh berhenti? Padahal, rasanya ingin maju, selalu menuju kamu. Namun —lagi rasa lelah dan jenuh terus menderu-deru...

Dan kali ini, entah yang sudah keberapa kali, aku sudah tak mampu lagi menghitungnya; dia. Lagi-lagi dia? Iya. Hanya dia yang terus memenuhi ruang hatiku. Jika kamu bawakan aku ratusan bahkan ribuan yang lain, aku dengan tegas menolak. Karena aku hanya ingin dia. Entah untuk kesekian —lagi, rasa jenuh ini hadir kembali, kesabaran ku diuji lagi, haruskah aku berhenti? Walau kamu bahagia yang ku nanti?

Jelas, sangat jelas aku coba tolak rasa jenuh ini. Tapi..... Tapi hal-hal yang menjurus dengan kamu terus saja berputar di kepala, tanpa aku sadari semua pikiran ini sudah terkontaminasi dengan sebuah zat yang bernama ”kamu“.

Hai, tak pernah sadarkah kamu?

Kamu mungkin tak akan pernah tahu; aku disini menunggu, dengan segala kasih sayangku, dan aku disini..... Apa perlu aku buktikan besarnya rasa sayang ini?

Lagi-lagi kamu dan terus saja kamu, tak pernah habis pikir secepat ini aku bisa nyaman dan secepat itu pula kamu katakan ”rasa nyaman itu udah gaada lagi“.

Dan sayangnya, aku bukan kamu, sayang. Aku bukan orang yang bisa dengan mudahnya meninggalkan kamu setelah aku rasa, kamu yang tepat, untukku, walau mungkin tidak untukmu. Seperti sebuah syair yang mengatakan, 'I‘m not the only one for you, but you‘re the only one for me' and it's true, dearest.

Dan sepenggal syair itu mungkin telah mewakili perasaanku selama ini. Disaat semuanya telah terjadi, yasudah, terjadilah, apa aku harus meratapi? Tentu saja tidak.
Sayang, ini aku, yang tak pernah peduli ucapan orang lain; tak pernah peduli kata-kata orang lain. Aku disini, sayang, di hadapanmu. Sesakit apapun yang pernah kamu lakukan terhadap ku; aku maafkan; karena cinta selalu memaafkan dan karena kamulah aku pun bisa belajar ikhlas.

Kamu tahu? Orang lain selalu bilang, aku adalah manusia terbodoh. Ah, aku memang bodoh, ya? Terlalu mencintai kamu, juga terlalu memaafkan kamu. Mau bagaimana lagi? Nyatanya sudah begini. Aku mencintaimu dengan selalu, walau kamu tidak. Ah, bukan aku ingin meratapi, bukan pula ingin mengharap kamu kembali, karena nyatanya rasa kamu telah mati, bukan? Jadi, intinya aku hanya ingin kamu tahu, aku mencintaimu seperti tak ada akhir, dan biarlah ini mengalir, untuk aku nikmati, sendiri.

Dan, jika aku meminta harapan itu terbuka sedikit lagi, apakah bisa? Aku akan berusaha memperjuangkan cintaku ini, akan berusaha dengan sekuat tenagaku, walau itu —mugkin sedikit mustahil, tapi apa salahnya? Apa salahnya aku mencoba sampai di puncak titik jenuh ku? Di dunia ini tak ada yg mustahil, bukan?
Ah, menurutku ada satu yg mustahil di dunia ini, apa? Rasa nyaman kamu terhadapku kembali. Aku rasa itu mustahil he he. Biarkan aku mencintai mu dengan caraku, dan biarkan aku jadi diriku sendiri, karena cinta selalu menerima apa adanya tanpa ada paksaaan.

Terimakasih untuk selalu menerimaku apa adanya, walau kini tidak.
Terimakasih telah menemani hari ku, walau kini tidak.
Terimakasih telah memperjuangkan aku, walau kini tidak.
Terimakasih untuk selalu ada, walau kini tidak.
Terimakasih untuk selalu memahami ku, walau kini tidak.
Terimakasih untuk mencintaiku, walau kini tidak.
Ah, terimakasih sudah menemani, walau kini tidak.
Terimakasih telah datang, walau kini pergi.
Terimakasih telah mendekat, walau kini menjauh.
Terimakasih pernah peduli, walau kini acuh tak acuh.
Terimakasih telah memberi harapan, walau kini pergi meninggalkan.
Terimakasih.

***

Lagi-lagi, ini untuk kamu, wahai.

Selamat Malam,
—Hawa und Medan

05.04 Posted by Unknown No comments

”Maka sejak saat itu, aku berhenti mencintaimu. Mengejar kamu yang telah berjalan lebih dahulu. Bukan, bukan untuk mencintaimu —lagi. Tapi untuk menyamakan langkah kaki denganmu, yang lebih dulu melupakanku. Dan saatnya nanti; saat langkahku mensejajari langkahmu, aku telah menang atas kamu; menang untuk melupakanmu, dan menang untuk berdamai dengan masalalu —saat bersamamu.“

Rabu, 30 Juli 2014

18.38 Posted by Unknown No comments

How r you? How's ur day.... eum... without me? I miss you, k. I miss you when you holding my hand, really. It sucks.

—Me.

Minggu, 20 Juli 2014

08.23 Posted by Unknown No comments

Untuk kamu yang tengah bersemayam di dalam hatiku.

***

Hai kamu. Jika kamu hendak bertanya apakah aku kuat menghadapi kamu, aku kuat, cukup kuat dengan semua kesabaran ku, karena aku tau sabar itu tidak batas nya. Iya, ngga ada. Tapi, jika aku memutuskan untuk berhenti, apa itu salah? Apa aku akan menyesal? Entahlah, aku pun sudah hampir menyelesaikan segalanya, tapi rasa sabar ini menahan ku; untuk sebentar lagi.

Hai, kamu. Ah, aku terlalu munafik. Maafkan aku, ya? Terlalu munafik dalam mencintaimu, mengatakan aku baik-baik saja, saat aku sadar nyatanya tak begitu. Aku mencintai kamu, dengan segala keikhlasan ku. Entahlah, aku bahkan terlalu sulit melepasmu pedahal aku tahu, semakin aku menggenggam kamu, semakin menjalar pula rasa sakit ini.

Hai, kamu. Kadang aku sering berpikir, apakah kamu ikhlas? Apakah kamu sungguh mencintai aku apa adanya? Pedahal, pertama kali kamu bilang akan mencintai aku apa adanya. Tapi, apa nyatanya? Tarik lagi saja bualanmu itu, tak pantas kamu ucapkan 'lagi'.
Melepasmu? Apa itu cara terbaik yang harus aku lakukan? Eng.... Engga, aku tegaskan sekali lagi, tidak. Aku belum berpikir hingga sejauh itu. Lagipula, hati ini sudah tertutup rapat oleh 'kepalsuan cinta', mungkin? Tapi, lain cerita jika kamu yang melepas ku. Mungkin aku tak akan berpikir dua kali dan, ya, aku akan pergi, dan penyesalan itu, aku tunggu.

Sedikit menantang hatiku, ya? Iya, buat kamu, apasih yang ngga? Apasih yang ngga aku lakuin buat kamu? Aku mau kamu bahagia, tapi, kenapa? Kenapa kamu tidak membiarkan aku mencintaimu dengan caraku? Apakah aku patut mempertanyakan keikhlasanmu bersanding dengan ku saat ini? Karena nyatanya kamu menolakku, menolak aku dengan caramu. Cara yang mematikan, yah! Selamat, telah membuat ku seperti ini! Aku hanya ingin kita bahagia, tapi nyatanya, semakin dewasa kita semakin sulit menemukan cara untuk bahagia dengan sederhana. Apa harus dengan kesakitan yang terlalu agar aku bahagia? Maksudku, agar kamu bahagia? Karena nyatanya, bahagiamu adalah prioritasku.

Hai, kamu. Melihat kamu bahagia pun aku sudah sangat senang, walaupun nyatanya, kamu tak pernah memandang aku disini sedang apa, bertanya aku disini sedang apa dan apa yg sedang aku lakukan, apa itu cara mu agar kamu bahagia? Apa mungkin kamu hanya memprioritaskan kebahagiaan kamu saja? Tolonglah, sedikit saja lihat aku disini, apa tak cukup aku meminta tolong? Rasanya terlalu menyakitkan ya, bahkan mungkin seharusnya aku tidak perlu meminta untuk kamu melirik aku sedikit saja. Sesakit ini kah yang perlu aku rasakan? Ah, kamu, melirik aku sedikit saja pun rasa nya sulit, ya? Padahal kita sudah ada ikatan, walau tak terlalu sakral, tapi cukup lah; cukup untuk menunjukan bahwa diantara kita ada status lain. Gotcha! Kamu menang, sayang. Selalu menang. Bahagia untukku sederhana, melihatmu tersenyum karena tingkah ku saja, aku sudah bisa merasa terbang, karena melihat senyum lebar mu itu, aku sangat melayang. Aku, suka. As always.

Hai, kamu. Apa harus aku memohon dan berlutut di depan mu sambil beruraikan air mata dan menangisi kamu di bawah kaki kamu? Tentu saja tidak! Aku ini lelaki, dan mungkin kali ini mau kamu tak pernah melirik aku sekalipun aku sudah tak perduli lagi. Sakit? Ya sangat jelas! Coba bayangkan jika kamu di posisi aku, apa kamu kuat? Apa kamu bisa menghadapi aku jika aku punya sifat macam kamu begini? Aku rasa tak bisa. Iya, tidak bisa. Dan kamu, bisa cari di seluruh dunia apakah ada lelaki seperti aku? Menahan kesakitan demi melihat kamu bahagia... Ahh sayang, aku pasti akan lakukan apapun itu asalkan aku lihat bibir mu itu tersenyum lebar. Indah.

Hai, kamu. Aku berharap, kamu bisa menerima ku dengan apa adanya, apakah ini salah? Seperti yang kamu selalu bilang, mencintaku apa adanya. Akankah harapanku terwujud? Sebagaimana doaku yang seiring hembusan nafas selalu menyebutkan kamu, agar selalu bahagia. Silakan cari yang seperti aku, yang mau mencintaimu seperti aku, aku yakin, hanya aku yang mampu. Ahahahaha, apa aku terlalu berkhayal? Kurasa, tidak. Ah, sudahlah, sebagaimana aku berharap pun kamu mungkin tak akan mengerti, aku cukup saja, cukup untuk bahagiamu, senyum manismu, yang ku harap akan selalu terukir indah, disana.

***

Hai kamu, merasakah bahwa ini semua tentang kamu? Karena jujur, ini semua tentang kamu. Untuk kamu.

ps; Ini aku yang selalu berusaha membahagiakan kamu, bagaimanapun cara nya. Aku menyayangimu.

July, 20th 2014; 10:54 pm.
Hawa und Medan.

04.59 Posted by Unknown No comments

Cukup lewat telepati saja, cukup aku saja, karena aku tahu, dia tidak akan mungkin merindukan aku. Ah, apalah aku ini. Hanya masa lalu yang telah dilupakan, bukan? Cukup aku tau dia baik-baik saja, iya cukup. Bahkan mungkin terlalu cukup untuk seorang aku, siapalah aku ini untuknya. Karena tak sepantasnya aku merindukan orang, yg bahkan mungkin sedang dalam perjalanan mencari sejati yang lain. Bukan, bukan aku sudah melupakan juga, hanya saja rindu ini biar aku yg menyimpan, karena aku tahu, serindu apapun aku terhadap dia, dia tak akan menjemput rindu ini, rindu yg aku pendam, untuk dia.

Selasa, 15 Juli 2014

08.21 Posted by Unknown No comments

Aku ngga ngerti maksud dan tujuan kamu itu apa. Yang jelas aku....... jealous. Mungkin. Maaf, ya. Silakan mau bertingkah apalagi juga. Aku tak berhak atas apapun, kan? Yasudah. Aku simpan lukaku. Dan silakan berbahagia dengan yang baru. Aku (mencoba) ikhlas.

— Me.

Senin, 14 Juli 2014

07.59 Posted by Unknown No comments

Semalam lalu aku mimpiin kamu. Ah, lucu. Bahkan terlalu. Masa kamu mau datang ngasih surprise buat aku? Mimpi yang bener-bener mimpi. Ah, apa kamu merindu aku? Kalau aku sih, bisa dibilang iya. Bahkan terlalu iya, terlalu merindu. See you soon.

Rabu, 09 Juli 2014

04.34 Posted by Unknown No comments

Get well soon, k.

—Me.

Selasa, 08 Juli 2014

Wahai.

10.16 Posted by Unknown No comments

Untuk kamu yang selalu menginspirasi, dan kini tengah pergi, cinta selalu tahu kemana kamu harus pulang.

***

Kamu pergi jauh tak tahu entah kemana, relung hati kini terasa sepi, canda gurau kita kini hanya sebatas angan. Oh sayang, ku tau kini kamu bukanlah milik ku. Kamu; tengah merantau di hati yang lain. Namun aku percaya, cinta mu murni untuk ku, karena cinta tau kemana dia harus pulang.

Hai kamu, jangan kan memeluk, menatap mu saja kini aku tak sanggup. Lagi-lagi; jangan kan bercanda, mengucap sepatah kata pun aku tak mampu, karena hatiku masih tetap saja bergejolak saat aku melihatmu, hanya mampu melihatmu. Hanya itu.

Iya, hanya itu yang aku mampu, tak bisa lebih. Tak kuat barangkali, atau aku harus pura pura kuat di depan mu? Tak mungkin, itu semua mustahil, karena semuanya sudah terlanjur. Kamu; lain kali jika pergi, jangan seperti ini.

***

Karena aku lemah, dan kamu tahu itu. Selalu tahu. Kamu; kelemahanku. Apa? Apa yang harus aku lakukan? Berlari memelukmu hingga yang akan kudapati adalah tepisan tanganmu? Sesakit itu?

Mungkin, memang sesakit itu. Tapi entahlah, aku suka rasa sakit itu. Entah, kenapa. Bodoh? Iya memang aku bodoh. Mungkin aku terlalu tolol. Karena di saat kamu menginjak ku, dan aku terus bertahan; berdiri dihadapan mu. Seakan aku meminta belas kasihan kepadamu? Bukan. Aku hanya membuktikan betapa keras nya rasa ini untuk mu. Hanya untuk kamu.

Because this love's too strong. Hey! Cant you see? Harus dengan cara apalagi aku memberi bukti hanya agar kamu mengerti? Mengerti karena segalanya tentang mu itu ‘betapa’ juga ‘terlalu’. Harus ku jelaskan lagi sebelah mana? Karena nyatanya kamu tak pernah mau mengerti; aku, hingga perasaanku.

***

Buta cinta itu memang nyata. Yang jelas— sejelas-jelasnya- aku yang tersiksa, sedangkan kamu? Menikmati permainan ini dan yaa.. Gotcha!!!! Kamu hampir memenangkan nya. Aku tahu, kamu tak akan pernah bisa menyadari semuanya. Dan kejelasannya; satu yang pasti, hati ini tidak akan pernah bisa lepas dari kamu— hingga saat ini.

Haa. Iya, hati ini milikmu. Selalu begitu; yang entah sampai kapan terus begitu. Aku masih selalu rela menanti disini, melihat tawamu, melihat senyummu, melihat genggam tanganmu; bersamanya, yang selalu kau sebut kebahagiaan. Aku turut berbahagia, wahai kamu. Ah, terlalu naif, bahkan munafik, aku..... aku terluka. Tak kah kau sadari itu?

Mungkin kau sudah menghilangkan segalanya tentang aku dalam benak mu. Aku yang pernah ada di pikiran mu, aku yang pernah membuat mu tertawa, aku yang pernah membuat mu tersenyum indah, dan hampir membuatku jatuh di pangkuanmu. Hey! Sebegitu mudah nya kah kau melupakan aku? Padahal nyatanya; aku disini merana dan apakah kau tahu disini aku 'gila'? Cinta mu terlalu kuat bagiku.

Ralat, cinta ku terlalu kuat untukmu.

Ah, berbicara tentang kamu memang tak akan pernah ada habisnya. Aku suka, karena dengan begini, aku selalu mengingatmu; walau kamu tidak. Menyedihkan, ya? Ah, tak apa. Aku sudah terbiasa. Bahkan, hal menyakitkan yang mana darimu yang tak ku nikmati? Segalanya manis, wahai. Terlalu manis. Walau semakin manis, semakin sakit pula goresan-goresan disini. Iya, goresan yang telah kamu ukir.

***

Seperti yang ku katakan, aku senang bercerita tentangmu. Hingga tak terasa sudah semalam ini. Ralat; sepagi ini. Dan kamu tetap disini, dalam pikiran dan hatiku. Selalu.

Entah kamu bisa membaca sedikit tulisan ini atau bahkan kamu pura pura tak bisa membaca? Menutup mata? Tak apa, yang penting ini untuk mu. Iya, untuk kamu; dariku yang selalu membanggakan mu.

Selamat pagi,

Hawa und Medan.

Senin, 07 Juli 2014

Maaf, Semoga Kau tahu Jalan Pulang

08.49 Posted by Unknown No comments

Karena cinta selalu tahu, kapan dan kemana ia harus pulang.

***

Nyatanya tak perlu menjadi seorang yang paling pintar untuk menyadari bahwa kau dan aku tak lagi sejalan. Nyatanya, memang tak perlu menjadi sempurna hanya untuk merelakan bahwa kamu telah pergi; merantau, ke lain hati.
Kepada semesta, hati ini berdusta. Berbicara sekenanya, semaunya. Karena lagi-lagi, nyatanya engkau selalu memenangkan setiap perdebatan dalam jiwaku; namamu. Harusnya, ku ucap jujur saja, bahwa hatiku -masih selalu- mengingat namamu. Namun lagi, egoku selalu menang untuk menyembunyikannya.

Entah, bagaimana bisa, kita, begini? Sudahkah? Sudahkah segalanya? Lalu bagaimana nanti, jika aku sendiri disini? Lalu bagaimana nanti, jika kini kamu sendiri yang pergi? Mengapa? Mengapa segalanya terasa begitu cepat?

Bukan masalah merelakan, karena nyatanya aku tak rela, melihat engkau yang kini menggenggam tangannya. Bukan lagi tanganku, bukan lagi cintaku, bukan lagi... aku. Lalu, aku bisa apa?

Apa semesta mendengar do‘aku? Apa semesta mendengar pintaku? Apa.... Apa semesta mendengar setiap kali ku memanggil namamu, duhai? Apa semesta menyampaikan itu padamu? Apa semesta memberitahumu tiap kali aku merindu? Atau.... Atau semesta menyembunyikan segalanya dan engkau tak pernah bahkan tak akan pernah tahu?

Sedetik lalu, lagi-lagi aku mengingatmu. Ya, lagi-lagi kamu. Dan selalu kamu, apa kamu tahu? Sehari lalu, aku merindumu. Selalu begitu. Seminggu yang lalu, bahagia itu berlalu, dan aku tak mampu. Harusnya aku mengerti, mengerti bahwa hari ini akan tiba, dan engkau memilihnya. Bukan, bukan aku, tapi dia. Apa aku tak cukup mampu membuat mu bahagia? Apa hanya dia? Apa hanya dia yang mampu? Hingga aku berlalu begitu saja, seperti angin.

Semesta mendengarku, mendengar sakitku, mendengar perihku. Hujan.

Hai kamu, mungkin sudah selayaknya, dan sudah seharusnya aku belajar; merelakan. Karena nyatanya engkau begitu, dan terlalu mencintanya. Seperti aku, begitu dan terlalu; mencintaimu. Pergilah, dengan segenggam harapan yang kau sebut kebahagiaan. Dan aku disini diam, dengan segenggam yang ku sebut kepahitan.

Boleh aku sedikit mengingatkan? Kau boleh pergi, dan nyatanya kau telah pergi. Dan cinta, kau akan selalu tahu jalan pulang. Bukan begitu? Semoga.

Maaf, maaf jika aku masih selalu mengharapkan. Maaf jika aku masih selalu menantikan. Maaf jika aku masih saja mencinta. Karena pemenang selalu satu, bukan? Dan itu, kamu, wahai.

Rabu, 02 Juli 2014

06.11 Posted by Unknown No comments

Jadi sebenernya ngga ngerti sama diri sendiri. Rasanya, memang sudah biasa saja, bahkan sudah terlalu hambar untuk mengatakan aku masih mencinta. Memang mungkin, masih ada secuil jiwa yang selalu merindukanmu; terkadang.

Sejujurnya mungkin hanya aku yang merindumu —masih. Mungkin memang hanya aku, yang ditempatkan pada sejatinya; hati yang selalu mencinta. Namun tenanglah, tak perlu engkau risau. Karena nyatanya, kamu sudah tak lagi perduli, bukan?

Ngga kok, aku ngga nyalahin kamu, karena mungkin sebelumnya aku harus berkaca pada diriku sendiri. Ya, namanya juga manusia biasa. Aku cuma mampu mencinta alakadarnya; yang amat jauh dari kata sempurna.

Jika saja kamu tahu, ada segores luka yang kamu tinggalkan. Tak apa, kau pun sudah tau, bukan? Bahwa sejak awal, jika aku memang sudah menyayangi, ya berjalan lah seperti itu, hingga aku menemukan titik ketidaksanggupanku lagi. Tapi nyatanya begini, Tuhan bahkan tak mengizinkan kamu untuk selalu disini. Ya it's okay. Kamu hanya seorang yang datang sebagai pelajaran, bukan? So, thankyou. For everything, dude.

By the way, kangen duduk sebelah lo!